Rabu, 07 April 2021

Praperadilan Pajak dalam Praktek

Dalam kasus putusan peradilan no. 19/Pid.Pra/2018/PN Dps antara PT Hardys Retailindo (PT. HR) dengan Direktorat Jendral Pajak (DJP) Wilayah Bali. Usaha PT. HR pada ahir tahun 2015 dalam kondisi tidak sehat dikarenakan beberapa faktor, persaingan retail indonesia yang berimbas pada PT. HR di Bali dan terjadi kesulitan cash flow. Sehingga menjadikan perusahaan harus mengambil dana pajak untuk biaya oprasional. PT. HR lagi-lagi mengalami kendala pembayaran pajak pada tahun 2016, dengan terpaksa beberapa aset perusahaan harus di serahkan pada DJP berupa sertifikat. Pengadilan Niaga pada Peradilan Negri Surabaya menyatakan bahwa PT. HR melakukan penundaan kewajiban pembayara Utang (PKPU) pada tanggal 25 September 2017 dan tanggal 9 November 2017 PT. HR dinyatakan pailit yang menyebabkan kehilangan haknya untuk mengengola harta kekayaan nya. Menjadikan PT. HR sebagai tersangka pada tanggal 19 Desember 2017 oleh DJP Pajak Bali. PT. HR di duga melakukan pelanggaran berupa :


a. Sengaja tidak menyampaikan surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan tahun 2016
b. Sengaja menyampaikan surat SPT & PPH tahun 2014,2015, dan 2016 yang isinya tidak benar
c. Sengaja tidak menyetorkan PPN yang telah di potong, yang mengakibatkan kerugian pada negara sekitar Rp. 42 Miliyar
 
Hakim mempertimbangkan perdebatan ini dan memutuskan penepatan tersangka pada Direktur PT. HR tidak valid karena sebelum ditetapkan menjadi tersangka 15 Desember 2017, PT. HR sudah di nyatakan pailit dan PKPU oleh Pengadilan Niaga Surabaya tanggal 25 september dan 9 november 2017.  Hakim juga mengutip yang pertama Pasal 32 ayat 1 huruf b “UU KUP” menjelaskan bahwa dalam pelaksanaan hak dan kewajiban berdasarkan undang-undang perpajakan, wajib Pajak diwakili dalam hal Badan yang dinytakan pailit oleh kurator.
 
Dalam argumen ini pertimbangan hakim tentang pembatalan tersangka karena dinyatkan sudah pailit. Dugaan tindak pidana oleh PT. HR merupakan tindak pidana perpajakan yang merugikan negara di tahun 2014,2015,2016. Seharusnya tindak pidana ini dibuktikan dahulu, bukan malah membatalkan penetapan tersangka. Karena KUHAP dan KUP tidak menjadikan alasan pailit untuk bisa membatalkan penetapan tersangka. PERMA 4/2016 juga tidak membenarkan alasan pailit menjadikan gugurnya penetapan tersangka. Hakim memberikan penjelasan yang terlalu luas bahkan cenderung menemukannya Norma hukum baru yang melanggar norma hukum pidana resmi.Pasalnya hakim melanggar Undang-Undang Acara Pidana (KUP, PERMA 4/2016) telah memberikan limitasi yang tegas tentang objek dan alasan-alasan praperadilan. Jika putusan ini diikuti oleh hakim lain, itu akan menjadi preseden yang keliru dalam penegakan hukum pidana perpajakan di Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Transaksi Kripto Bakal Kena Pajak, Kapan Aturan Keluar?

Seperti negara lain, Indonesia sekarang ditabrak demam investasi uang crypto (cryptocurrency). Pada saat yang sama Direktorat Jenderal Pajak...